Pada Hari Saat Bersamamu Melukis Di Atas Air

Pada Hari Ketika Bersamamu Melukis di Atas AirIlustrasi: Kiagoos Auliansyah/detikcom

Jakarta - Perihal cintaku padamu, rumusnya sederhana. Bila semakin bersahabat saya semakin bahagia, sebaliknya bila engkau jauh saya resah-itu rumus pertama. Melihatmu senang saya turut bungah, bila kamu susah saya juga akan ikut merana-rumus kedua. Dan, rumus ketiga-aku ingin menjadi satu-satunya yang paling bersahabat denganmu, kalau ada yang lain saya akan abnormal alasannya ialah cemburu. Sesederhana itu teorinya.

Namun, soal praktik tidak gampang untuk secara lugas memaparkan cintaku padamu. Aku ingin bersahabat denganmu. Namun, selalu, ketika saya mendekat saya malah takut akan muncul bab dari diriku yang mengatakan bahwa saya sama sekali tidak pantas untuk kamu pandang dengan mata indahmu.

Maka, saya hanya memandangimu dari jauh.

Tiap hari saya memperhatikanmu yang selalu pergi ke tepi danau untuk duduk di ujung dermaga kayu. Sudah usang tak ada bahtera sandar di sana, sehingga ia sekarang seolah khusus menjadi singgasanamu. Kau melukis di sana. Tanpa kanvas. Hanya dengan memainkan ujung jari yang telah tercelup sumba di atas permukaan air, akan muncul rupa-rupa garis beraneka warna di sana. Meski kemudian, dalam hitungan paling usang sepuluh menit lukisaanmu segera terhapus oleh gerakan air. Tapi, tidak mengapa alasannya ialah justru dengan itu kamu sanggup terus melukis tanpa kehabisan kanvas.

Lukisanmu tak buruk, cukup indah-kuakui itu. Namun, bagaimanapun, tetap saja, keindahan yang sebetulnya ialah dirimu, wajahmu, suaramu, senyummu. Dirimu yang berkulitkan kilau cahaya, berambut gerai air terjun, dan berpipi manis buah delima ialah keindahan yang paling sempurna. Bibir mungilmu yang merah jambu sering berganti bentuk. Kadang tersenyum, kadang manyun, kemudian tergigit ujung gigimu. Sesekali juga mendadak datar, kemudian berubah sendu.

Kedua tangan kecilmu selalu ingin kurengkuh. Tungkai kakimu bersembunyi bagus di balik rok putih yang ujungnya berair tercium air danau. Kedua bola matamu seindah permata. Selalu saya ingin menatapnya, namun tak pernah kulakukan alasannya ialah takut kamu akan menatapku balik dengan cara yang tak sama dengan saya melakukannya.

Maka, saya hanya berpura-pura asyik sendiri di markas pengintaianku di bawah pohon kers, berteduh, kadang melompat-lompat untuk memetik buah-buah kecilnya. Kadang pula saya memanjat pohon itu, meraih buah kers di ujung dahan tertinggi, kemudian usil melemparkannya ke arahmu. Sejenak engkau menoleh, tapi saya malah membuang muka, berpura-pura bukan saya yang melakukannya.

Namun, sekali itu kamu memanggilku. Tidak biasanya. Aku pun mendekat sesudah beberapa detik berpura-pura bodoh. Kau ingin saya mengomentari lukisanmu, bahkan mendesakku untuk itu.

"Cepatlah, lima menit kamu diam, lukisanku akan menghilang," pintamu.

Aku memang masih termenung dikala itu, antara senang dan tegang. Entah apa yang harusnya kukatakan. Aku gagap soal seni.

Maka, dengan asal saja saya lanturkan kritikan dan masukan. Kukatakan kurang beberapa warna, terlalu banyak gesekan ragu-ragu, ada kesan takut salah, dan terlalu berhati-hati. Entah yang kukatakan itu benar atau tidak. Tidak masalah. Toh, tepat sesudah kuakhiri pidato panjangku, lukisanmu terhapus oleh fatwa air. Benar atau salah, tak ada bukti untuk menuduhku.

Aku hanya berharap kamu tidak tersinggung dengan segala bualanku. Ternyata, memang tidak. Kau malah tersenyum.

"Mau melukis bersamaku?" tanyamu anggun sambil memiringkan kepala.

Tubuhku bergetar, hampir terkejang. Aku ingin menggeleng, namun kepalaku terangguk. Engkau pun menggeser posisi dudukmu, dan memindahkan mangkuk-mangkuk sumba pewarna lebih bersahabat padaku.

Kita segera memulai. Goresan pertama kamu buat dengan warna hijau. Aku kamu minta menciptakan gesekan selanjutnya. Maka, kucelupkan ujung jariku ke dalam sumba warna merah, kemudian kuarahkan ke atas air.

Kuhentikan sementara gerak tanganku. Sempat saya berharap dengan itu kamu akan meraih tanganku untuk menuntunku menciptakan goresan. Aku ingin, meski cuma sekali, tangan kita bersentuhan. Tapi, sesudah kutunggu kamu tidak melakukannya. Maka, saya gerakkan sendiri tanganku untuk menciptakan garis lurus yang tepat sejajar dengan garis yang kamu buat. Kugambar sedekat mungkin dengan garis hijaumu, namun tak hingga bersentuhan. Tepat menyerupai diriku yang selalu ingin dengat denganmu, namun tak berani masuk lebih jauh menjamah kehidupanmu.

Tujuh menit berselang, kita pun selesai. Jangan bicara soal bagaimana sepertinya lukisan kita. Dibandingkan ketika kamu melukis sendiri, goresan-goresanku hanya mengganggu. Tidak membantu sama sekali. Padahal tadi dengan mantap kuhakimi engkau ini dan itu. Kini, sanggup kamu lihat sendiri saya hanya lelaki bermulut besar. Aku tak sanggup melukis, hanya menciptakan goresan-goresan yang mengikuti arah goresanmu, warnanya saja yang beda. Tiap kamu menciptakan garis bentuk apa pun, saya menciptakan yang serupa, sejajar, sangat rapat, namun juga sangat hati-hati biar tak hingga bersentuhan dengan garis-garismu.

Kau tampak ingin menggores lagi, namun galau hendak di mana menuangkan warna. Lukisan kita sudah memenuhi bidang empat kali satu meter persegi di atas air. Biasanya, tak pernah engkau melukis sepanjang itu.

"Menurutmu lukisan kita sudah jadi?" tanyamu.

Aku membisu mengerutkan kening, akal-akalan berpikir. Tidak, ini belum jadi.

Dalam pandanganku, lukisan itu hanya menyerupai dua lukisan yang ditumpuk jadi satu. Memang kita menggores garis demi garis bersama. Namun, tak ada persinggungan antara garisku dan garismu. Seharusnya, entah pada satu atau dua titik, garis kita bertemu, bercampur, bersinggungan. Baru sanggup disebut lukisan bersama kita.

Aku bersihkan tanganku dengan ujung lengan baju, menghilangkan sisa sumba. Aku bermaksud mengaduk air biar warna garis-garis kita berpadu. Tapi, kamu mencekal tanganku.

"Tunggu! Sebentar!"

Tangan kita bersentuhan. Tidak! Bahkan kamu pegang tanganku.

Aku menunggu menyerupai yang kamu minta. Tubuhku gemetar. Bola matamu memperhatikan lukisan kita. Mataku menatap bola matamu.

"Lihat, indah sekali!" sekali lagi kamu berseru.

Dua detik berikutnya kamu memandang ke arahku. Aku mengalihkan pandangan dari wajahmu ke arah lukisan kita.

Ya, lukisan kita sudah jadi. Aliran air yang bergerak perlahan menciptakan garis-garis kita yang awalnya hanya berdekatan jadi bersentuhan, kemudian bercampur. Terjadi secara alami, tanpa perlu saya mengaduknya.

Beberapa dikala kemudian kita sama-sama termenung memandang bagaimana fatwa air menuntaskan lukisan kita. Sangat perlahan. Hingga kemudian, pelan-pelan pula lukisan kita itu terhapus, juga oleh fatwa air yang sama. Air membawanya menjauh, menelan warna-warna sumba ke dalam arus.

Selama itu tangan kita masih bersentuhan. Tanganmu memegang tanganku. Entah engkau sadar atau tidak melakukannya. Atau, mungkin engkau sadar, namun akal-akalan tidak sadar.

Sedangkan, diriku sendiri berada di antara sadar dan tidak sadar. Aku hanya merasa sangat senang dikala itu. Bahagia alasannya ialah sanggup berada bersahabat denganmu, bahkan tanganku kamu genggam. Saking bahagianya, sampai-sampai sulit kupercaya kebahagiaan seindah ini hanya tercipta alasannya ialah kedekatan saya padamu. Pundak kita bersinggungan. Aku sanggup mencium aroma rambutmu.

Setelah lukisan kita benar-benar menghilang, kamu melepas tanganku. Aku terusik, namun sadar bahwa memang sudah saatnya kita kembali pada jarak. Aku beringsut menjauh. Hanya satu jengkal, namun cukup untuk menciptakan bahu kita tak lagi bersentuhan. Aroma rambutmu menjauh.

Engkau melirik mangkuk-mangkuk sumba, mungkin ingin mengajakku melukis lagi. Mungkin. Tapi, saya menampik kemungkinan itu. Aku pamit untuk kembali ke markasku, di bawah pohon kers. Di sanalah saya akan selalu berada, untuk mencuri-curi pandang ke arahmu, sembari menjaga diriku biar selalu bersahabat denganmu, tapi jangan hingga bersinggungan. Kalau nanti takdir menghendakinya, dengan sendirinya kita akan bersatu dengan cara yang lebih indah. Tidak perlu memaksa menyilangkan garisku dan garismu. Apalagi mengaduknya.

Di bawah pohon, saya mendongak. Kutemukan beberapa butir buah kers yang merah dan masak. Kupetik dua buah. Sebutir kumakan, sebutir yang lain saya lemparkan ke arahmu. Engkau menoleh, tapi saya akal-akalan melihat ke arah lain, akal-akalan bukan saya yang melemparnya. Lalu, kamu berpura-pura membenahi rok putihmu-aku tahu sebetulnya kamu sedang memungut buah kers yang kulempar. Dan, ketika kamu kembali memalingkan wajahmu dariku, rahasia engkau memasukkan buah kecil itu ke mulutmu.

Manis, bukan? Aku juga merasa buah kers itu benar-benar manis.

Hasan ID tinggal di Besuk Sempilan, Sukodono, Sidoarjo. Aktif di komunitas Malam Puisi Sidoarjo. Buku kumpulan cerpennya yang terbaru berjudul Monster atau Sesuatu yang Sejenis Dengan Itu

Redaksi mendapatkan kiriman naskah cerpen, tema bebas, diadaptasi dengan aksara detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com