Jakarta - Cara ini kuperoleh dari Anne. Sebulan lalu, untuk keperluan penelitian, saya pergi ke Amsterdam.
"O ya, mungkin kau perlu tahu, saya kini makin cemas jikalau lihat es watu begini lho," kata Anne, dalam bahasa Inggris tentu saja, sambil mengaduk kubik-kubik es kecil pada segelas cokelat yang beliau pesan di kafe stasiun Amsterdam Centraal.
Aku tidak tahu harus berkata apa. Kucecap kopi hitam yang tidak enak. Rasanya ibarat bubuk bakaran kertas yang disiram air panas. Aku sedang berusaha menetralkan tanda-tanda perbedaan waktu. Badanku rasanya ngantuk sekali, meski ini siang isu terkini gugur yang sepertinya cerah bersemangat.
"Sejak kau melihat burung kingfisher membeku di saluran itu?" tanyaku menegaskan ingatan.
"Kalau itu masa kecil. Ini beda. Eh, terima kasih ya, kau masih mengingat ceritaku."
"Jangan khawatir. Meski sebetulnya saya ini pengingat yang buruk. Hanya saja, jikalau ingatan itu berkesan, rasanya ibarat gambar prangko yang ditempelkan lekat-lekat ke otak. Kamu kecil bermain ice skating, kemudian melihat burung biru pemburu udang atau ikan itu membeku di bawah kakimu, di dalam danau es. Burung yang sedang berusaha menangkap ikan. Ikan kecil yang sama-sama membeku. Seperti lukisan perihal berburu. Tapi, kau merasa kasihan kemudian ketakutan, begitu kan?"
Anne malu-malu, "Bahkan hingga umur dua lima begini, setiap kali tidur dan mimpi, di dalam mimpiku ada saja burung dan ikan."
Di sisi dalam, dari beling kafe terlihat toko Albert Heijn dengan etalase dan orang yang sibuk membeli. Di depannya, jalur keluar masuk. Orang-orang lalu-lalang membawa sisa mimpi malam mereka sendiri. Mungkin ada yang samar. Ada yang masih begitu jelas. Meski rombongan itu membawa koper, beramai-ramai dari India atau China ke Belanda, mungkin tetap saja sisa mimpi itu terbawa. Mimpinya sanggup jadi dalam bahasa asalnya, perihal orang-orang asalnya, perihal makanan, burung, dan ikan-ikan di negeri asalnya.
"Omong-omong, kau pernah memimpikanku?"
"Pernah dong," jawab Anne cepat.
"Dengan ikan dan burung-burung?"
"Ha ha...ya, dengan ikan dan burung-burung," Anne tertawa, "Burung-burung yang besar dan menyenangkan."
Aku ikut tertawa. Pengunjung lain melihat sebentar, kemudian tidak peduli.
"Lalu," tanyaku, "Apa yang membuatmu cemas jikalau bukan kingfisher?"
Dia terdiam. Menunduk memainkan gelas berisi coklat dengan kubik-kubik es watu seukuran dadu.
Rambutnya yang pirang terurai melampaui bahu. Dia menggunakan sweater abu-abu. Aku gres menyadari bahwa wajahnya terlihat cepat sekali menua. Cahaya matanya agak meredup. Terakhir kali bertemu setahun tahun lalu. Ketika itu, beliau tiba ke Indonesia untuk melaksanakan penelitian perihal sosiologi jalan raya selama satu tahun. Karena fokus penelitiannya di Jogja, maka sebagian besar waktunya juga dihabiskan di sana. Dia menghubungiku sesudah membaca artikelku di jurnal mengenai migrasi pecel lele dan sate madura serta psikologi pembeli dan penjualnya.
"Kupikir kau juga perlu meneliti soal sanitasi dan regulasi kaki lima itu," katanya, dalam bahasa Inggris, selama kami diskusi di kantin kampus.
"Mungkin di kesempatan lain. Waktu itu yang menarik bagiku, ya soal identitas dan masakan itu. Mereka di Jogja, tapi yang dijual, atau dibeli masakan kawasan asalnya. Dan, itu banyak. Juga bukan hanya di Jogja kukira. Jakarta, Bandung, Surabaya. Makara saya bertanya-tanya, ada apa sebenarnya. Apakah ketika seseorang bepergian, lidahnya tetap terikat tanah kelahiran? Tapi, jikalau soal hati dan jatuh cinta kok malah sebaliknya ya?"
Dia tertawa. Ternyata paham juga maksudnya. Aku ikut tertawa. Pengunjung kantin kampus memperhatikan, kemudian saling berbisik.
Sejak dikala itu, sekitar empat bulan, saya berubah jadi tersangka. Harus siap ketika beliau mencecar. Meski bukan kesalahanku, tapi seakan-akan saya ini ialah wakil dari kesalahan-kesalahan itu. Ketika melihat orang buang sampah dari beling kendaraan beroda empat ke jalan, beliau bertanya padaku, apa tidak ada pelajaran jikalau jalan raya itu bukan tempat sampah. Juga waktu lihat sampah di pinggir sungai. Kalau naik kereta dan orang tidak antri menunggu yang turun lebih dahulu, beliau juga bertanya dengan menyudutkan bangsaku.
"Padahal, jikalau sudah naik, ya santai sekali. Tidak ada kesibukan berarti atau sekadar baca buku. Kalau mau naik kok berebutan begitu. Di jalan juga, tergesa-gesa, bahkan lampu belum hijau udah jalan. Trotoar buat jalan kaki diserobot segala. Awalnya kupikir sibuk sekali ini orang-orang, eh, tahunya sudah hingga tempat ya santai main media sosial," katanya semakin panjang.
Di hari-hari pertama, saya maklum alasannya ialah beliau sedang meneliti soal jalan. Termasuk maklum dikala beliau merasa asing pada polisi. Kalau ada rombongan pawai tidak pakai helm, motor knalpot bodong bising, kok tidak berani menangkap mereka. Lama-lama, saya capek juga meladeni tudingan macam demikian. Kubawa beliau ke desa di pinggiran Godean, Sleman dengan padi-padi dan ikan-ikan yang berenang-renang bebas di antara pepadian. Udara sejuk. Orang-orang yang ramah dan panjang umur.
"Wah, ini ibarat nirwana ya," katanya.
"Ya, tidak jauh dari jalan neraka kan?" kataku ketawa.
Pada dikala itu, di dangau melihat ikan-ikan berenang di antara genangan air sawah berkonsep minapadi, beliau kisah soal masa kecilnya dan ikan kingfisher yang membeku. Dia sedang bermain bersama paman dan bibinya yang tinggal di Amsterdam. Sementara, beliau dan keluarga tinggal di Leiden. Dengan kereta intercity, mereka menuju tempat paman. Ketika asik meluncur di atas saluran yang membeku alasannya ialah isu terkini masbodoh melampaui biasanya, ia melihat kingfisher membeku dalam es, di bawah sana, di bawah kakinya.
"Kamu ingat Mark?" tanyanya balik sesudah lamunan agak panjang. Kopi rasa serbuk kertas sudah dingin.
Aku mengangguk, bosan --membosankan jikalau soal Mark tukang neliti kuman keju itu.
Dia mengalihkan pandangan ke arah pelabuhan yang kini tak berfungsi lagi.
"Dia juga membeku," katanya pelan.
Mengejutkan, kopi rasa serbuk bakaran kertas jadi menggairahkan. Aku mencecapnya. Enak sekali. Jiwaku bergembira. Melompat-lompat ibarat anak beruang ketemu ibu beruang yang membawa masakan beruang. Aku menafsirkan maksud beku itu sebagai berhentinya korelasi mereka berdua, dan itu artinya ada kesempatan bagiku. Aku ingin bertanya, tapi belum ketemu kalimat yang tepat.
Tapi, kuberanikan juga, "Mmm, itu artinya?"
Anne menoleh sebentar, kemudian berpaling, "Artinya, beliau dipukuli pakai palu es, sesudah gas dan larutan pencair tidak sanggup bekerja cepat."
Aku belum sanggup mengerti jikalau perlambangnya yang sejauh itu, batinku.
"Dia ibarat kingfisher. Sial betul mimpi itu. Masa kecil itu. Lebih sial aku," Anne ingin meremas gelas cokelat dengan es kubik. "Bagaimana sanggup otakku yang logis percaya pada korelasi mimpi ikan dan burung dengan lelaki yang kucintai. Dia menggunakan jaket isu terkini dingin. Berpose ibarat pemburu binatang air. Yang ia buru botol wiski. Mengambang persis ibarat ikan kecil di hadapan kingfisher. Jarak ujung tangan kanannya pada botol, hampir sama dengan jarak paruh burung itu dengan mangsanya yang sama-sama membeku. Aku tidak tahu apa yang dilakukannya di jembatan saluran itu. Padahal, muncul peringatan angin kencang salju. Tolol sekali dia."
"Aku minta maaf," kataku tulus. "Aku turut berduka cita. Aku gres mengetahuinya."
"Tak masalah. Lagi pula, memang saya gres kisah kan? Aku juga bukan tipe orang yang gampang kisah apa saja di akun media sosial."
"Ya, saya tahu, saya menghargai setiap privasi."
"O ya, asing juga jikalau kini saya punya pemikiran sedewasa ini. Pas kejadian, rasanya gejolak remajaku dikuras habis. Aku nangis seminggu lho. Setelah itu, waktu berdiri dari mimpi, saya tukang mimpi ya, menyedihkan. Di mimpi itu, saya menangkap ikan-ikan kemudian kubagikan di mana, kau tahu? Di kaki lima pecel lele di negaramu! Aneh kan? Burung-burung itu kulepas di jalanan macet di sana. Mimpi yang lucu ya. Sampai-sampai saya berpikir, yang hidup barangkali lebih penting untuk dipikirkan daripada yang mati. Terutama yang hidup dalam penindasan, kemiskinan, atau ketidakadilan."
"Wah, kau bijaksana sekali. Bahkan dalam mimpi," saya tetap tidak ingin kehilangan kesempatan. "Tapi, Mark kan tidak percaya Tuhan, surga, dan neraka. Dia bilang itu imajinasi kolektif, hasil revolusi kognitif sapiens. Kalau begitu, menurutmu, ada di mana entitasnya sekarang?"
"Dia membeku, di sini," kata Anne mengarahkan ajun ke dadanya.
"Duh, hanya untuk Mark ya?"
"Aku paham maksudmu," kata Anne simpatik. "Tapi, saya sudah pernah bilang. Perasaanku ke kau ibarat ke negaramu, saya menyukai, tapi bukan mencintai. Tidak apa-apa kan?"
Eko Triono menulis kisah dan esai. Peserta residensi penulis di Belanda (2018)
Redaksi mendapatkan kiriman naskah cerpen, tema bebas, diadaptasi dengan abjad detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com